ANALISIS PROSA FIKSI "PENGEMIS MISTERIUS"-Saefulloh M. Satori
PROSA FIKSI (CERPEN)
Pengemis Misterius
Gila! Orang itu benar-benar tak
punya malu. Dasar dekil. Gembel. Bayangkan, bagaimana hati tak dongkol,
beberapa hari yang lalu, ia memelas kepadanya. Kemarin begitu, kemarinnya juga
begitu. Sekarang pagi-pagi sudah absen di depan mata.
Badrun gondok setengah mati. Ia
masih ingat betul peristiwa beberapa hari yang lalu. Pengemis gembel itu
memelas dengan kata-kata mengiba.
“Bang, minta sedekahnya, Bang..amal,
Bang... tolong..buat makan, Bang..”
Badrun gelagapan. Padahal ia belum
mendapat order satu barang pun; sebuah sendal kulit, sepatu, tas, atau apa saja
yang bisa mendatangkan rupiah.
“Tolong, Bang... sedekahnya”
“Aduh! Sabar kek kenapa, sich?”
gerutu hati Badrun. Tangannya masih lincah mencari-cari uang recehan di dalam
laci. Tidak ada. Hanya ada uang logam kecil sebesar kancing baju. Seratus
perak. Badrun tak tega memberi uang sekecil itu. Tak sampai hati. Apalagi zaman
sekarang orang-orang sudah sangat peka terhadap nilai uang. Era globalisasi
rupanya sudah mengubah watak dan sikap manusia terhadap sesuatu yang bernama
materi. Tidak di kota, tidak di desa. Juga pengamen dan pengemis gembel itu.
Badrun pernah menyaksikan seorang pengamen melempar uang logam hasil pemberian
orang.
“Huh! Emang gue ini siape? Masa Cuma
dikasih cepe. Keterlaluan. Buat beli rokok sebatang pun ta dapat,” kata
pengamen itu kepada temannya.
“Gocap juga uang, kok...” Balas
temannya sambil tertawa.
“Semprul, lu!”
“Mungkin dia tidak punya uang kecil
selain cepean itu. Masih untung orang itu mau memberi.”
“Tampangnya saja bonafid, tapi
pelitnya minta ampun. Masa suara gue Cuma dihargai cepe. Terlalu. Padahal, saya
sengaja memilih lagu terbarunya Broery Marantika. Padahal, suaraku lebih merdu
dari suaranya Doel Sumbang. Padahal, kita pernah menjuarai festival ngamen
se-kecamatan ya, Jim”
“Ya, ya... tapi jangan ngoceh terus.
Yuk kita cari order lagi!”
Badrun tak habis pikir. Rupanya
pengemis (juga pengamen) sekarang punya hukum tak tertulis tentang standar upah
minimum mengemis dan mengamen.
Badrun mengambil dompetnya yang
sudah lecek. Satu lembar ratusan berwarna merah terselip dalam dompetnya.
Sekarang ia tak perlu pusing-pusing lagi. Dan yang terpenting agar orang tua
dekil itu segera berlalu di hadapannya.
Sebenarnya Badrun bisa saja menolak
(bukan berarti mengusir) secara halus. Bilang saja tidak ada uang kecil. atau,
maaf Pak pengemis, saya belum dapat order. Atau saya lagi bokek. Lain kali
saja, ya..gitu! Namun hati kecilnya tak mampu untuk melakukannya. Untuk
berbohong pun, ia tak sanggup. Apalagi sekarang adalah bulan suci.
Almarhum ayahnya pernah berpesan
agar selalu berbuat baik terhadap sesama. anak yatim dan peminta-minta, jangan
dihardik, apalagi diusir. Kalau toh tak mampu memberi, katakan dengan cara yang
sopan dan lemah lembut.
Wejangan ayahnya itu terus terekam
dalam hatinya. Seperti sebuah “amanat” yang harus dipikulnya kelak. Memang
benar, karena beberapa tahun setelah kematian ayahnya, Badrun ditinggal mati
oleh istri tercinta, Siti Rahimah. Badrun sangat kehilangan. apalagi anak-anak
yang ditinggalkannya masih kecil.
Bagi Badrun, istrinya bukan saja
pelipur di kala duka, tetapi ikut juga membantu secara ekonomis. untuk memenuhi
hajat keluarga, istrinya berjualan rujak uleg dekat Pasar Kramat. Jerih payah
istrinya itu sangat membantu. Apalagi ketika Badrun menganggur setelah becak
dilarang beroperasi. Setelah menganggur, Badrun mencari kebutuhan hidup dengan
usaha lain di kota ini.
Badrun memberi uang kepada pengemis.
Dengan rasa suka cita, pengemis segera berlalu hingga hilang ke tengah
keramaian pasar.
Besoknya pengemis datang lagi. Saat
itu matahari sudah berada di atas ubun-ubun langit. Udara kota menyengat
pori-pori bumi.
Binatang melata menggelepar-gelepar
kepanasan di atas aspal. Peluh dan keringat jatuh bercucuran.
Badrun menyeka peluh di wajahnya.
Hampir setengah hari ia menunggu. Namun tak seorang pun yang lewat memberikan
order jahitan. Badrun gelisah. Terbayang satu per satu wajah anak-anak yatim di
rumahnya. Mereka menunggu rezeki dengan harap-harap cemas. Apalagi sekarang
mendekati lebaran Idul Fitri.
Dalam kegamangan dan penantian yang
panjang, muncul pengemis mirip kakek-kakek. Badrun sangat mengenalnya karena
hampir setiap hari ia datang meminta kepadanya.
Pengemis itu sudah uzur. Badannya
setengah bungkuk. Pakaiannya compang camping tak karuan. ia berjalan
tertatih-tatih dengan menggunakan tongkat penyangga. Lama sekali ia
mendekatseperti jalannya kura-kura. Ia berjalan sambil menahan sebelah kakinya
yang pincang.
Entah mengapa, ada perasaan iba yang
menusuk-nusuk hati Badrun. Syukurlah, selama ini ia tak pernah menolak
permintaannya. Tidak seperti pemilik toko sebrang jalan yang sering menolak
pengemis itu. Atau pemilik toko di sudut jalan yang membiarkannya menunggu berlama-lama
di depan toko hingga membuat pengemis segera berlalu dengan tangan hampa.
Badrun mengamati pengemis itu.
Tiba-tiba ia terjatuh di dekat trotoar kaki lima. Hampir saja ia terjerebab
dalam blumbangan kotor. Badrun segera berlari memberikan pertolongan.
“Bapak siapa?” tanya pengemis.
Wajahnya tampak lelah.
“Saya Badrun. Tukang sol.”
“Oh.. nama yang sungguh indah. Tuan
seperti bulan purnama yang menerangi jiwaku.”
Badrun kaget. Ia sendiri tidak
begitu perduli dengan namanya. Yang jelas, emaknya pernah cerita bahwa ia
dilahirkan pada malam bulan purnama. Untuk itu dinamai Badrun. Bulan purnama!
“Bapak siapa?” Badrun balik
bertanya.
“Saya Ibnu Sabil.”
“Datang dari daerah mana?”
“Saya datang dari Negeri Samawat,
negeri yang sangat jauh. Sudahlah.. e, maaf sekedar bertanya, Bapak puasa?”
“Oh,...tentu. Itu kewajiban saya
selaku muslim. Saya melaksanakannya semata-mata mengharap ridha Allah.”
“Baarokallah. Semoga Allah
melipatgandakan pahala puasamu.”
Kemudian keduanya terdiam. Lama.
Udara semakin meranggas. Pengemis mendengus. Wajahnya tampak semakin lelah.
Namun, dia balik semua itu Badrun melihat keanehan pada wajah pengemis. Sinar
matanya penuh wibawa. Tampak bukan seperti pengemis,
“Di kota ini, orang sepertiku
dianggap seperti kuman penyakit menular. Kota ini sungguh tak bersahabat,” kata
pengemis melanjutkan pembicaraan.
“Kami benar-benar tak mengerti.
Padahal di kota ini banyak bermunculan pengemis-pengemis profesional dengan
segudang fasilitas yang nyaman lagi aman. Mereka berkeliaran bebas tanpa rasa
takut dan cemas. Tidak seperti kami yang sering diusir, dikejar-kejar seperti
anjing gila.”
“Maksud Bapak, mereka itu siapa?”
“Bapak tak kan mengerti karena Bapak
bukan pengemis. Bapak bukan tipe manusia yang suka mengemis. Manusia sehat, kuat
tapi pemalas. Manusia yang bisanya mengharap uluran tangan orang lain. Mereka
benar-benar pengacau. Karena ulah mereka, kami kena getahnya. Bersama mereka,
kami dikejar-kejar petugas razia.”
Badrun semakin heran. Pengemis itu
bukan orang sembarangan. Mungkin pelancong yang sedang kehabisan ongkos. Lalu
mengemis untuk biaya pulang ke negerinya. akan tetapi, untuk berapa lama? Atau
jangan-jangan ia adalah utusan gaib untuk menguji iman manusia di bulan suci
ini?
“Di kota ini, orang yang peduli
kepada kami hanyalah sedikit jumlahnya. Bapak termasuk orang yang sedikit itu.
Saya ucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak selama ini. Dan... ini
sekedar pemberianku yang tulus ikhlas. Kutitipkan untuk keluarga Bapak di
rumah.”
Orang tua itu mengeluarkan sebuah
bungkusan. Isinya lembaran-lembaran uang. Cukup banyak jumlahnya.
“Pak Badrun, saya mohon terimalah
pemberianku ini.”
Badrun terkesima. Orang tua di
depannya, bagaikan sebongkah magnet yang memencar.
Daya magnetnya begitu kuat. Badrun
terhipnotis. Ia menerima bungkusan itu. Tanpa banyak komentar, tanpa banyak
reaksi, tanpa bicara sepatah kata. Badrun benar-benar terkesima.
“Pak Badrun... Bapak adalah purnama
yang menyinari kota ini. Assalamu’alaikum...”
Orang tua itu segera berlalu.
Jalannya cepat seperti kilat. Ia menghilang sebelum Badrun menyadari apa yang
terjadi pada dirinya.
ANALISIS
Judul Cerpen : Pengemis Misterius
Pengarang : Saefulloh M. Satori
Sumber : Tukan, S.Pd Paulus.
2006. Mahir Berbahasa Indonesia 2 .
Jakarta : Penerbit Yudistira
Unsur Intrinsik
1. Tema :
Pada intinya
cerpen ini mengisahkan kehidupan seorang laki-laki yang bernama Badrun. Badrun
bekerja sebagai sol sepatu yang ditinggal mati oleh istrinya dan harus
membanting tulang sendiri untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Badrun
merupakan sesosok yang penuh belas kasihan, dan berhati besar. Walaupun ia
tidak mempunyai uang, tetapi merelakan untuk membantu pengemis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
tema cerita pendek ini adalah kedermawanan
2. Alur
Cerita pendek ini beralur maju ,
maksudnya pada awal ceritanya itu menjelaskan tentang kejadian yang dialami
seseorang di saat ini. Bisa dilihat dari jalan cerita yaitu Badrun selalu
berusaha dan berikhtiar untuk mendapatkan kerjaan jahit sepatu, walaupun belum
mendapat langganan tetapi ia selalu berbaik hati memberi sedikit uang kepada
pengemis atau pengamen, dan membantu ibnu sabil yang sedang kesusahan sampai
suatu saat ia mendapat uang dari ibnu sabil tersebut atas kebaikan yang selama
ini ia lakukan kepada setiap orang.
3. Ketegangan
dan Pembayangan
Ketegangan dan
pembayangan yang terkandung di dalam cerpen ini memiliki rangkaian kata atau
rangkaian kalimat yang baik, merangsang, sehingga dapat menimbulkan ketegangan
dan pembayangan. Ketegangan dan pembayangan cerpen ini terdapat pada paragraf
berikut ini :
“Di
kota ini, orang yang peduli kepada kami hanyalah sedikit jumlahnya. Bapak
termasuk orang yang sedikit itu. Saya ucapkan banyak terima kasih atas kebaikan
Bapak selama ini. Dan... ini sekedar pemberianku yang tulus ikhlas. Kutitipkan
untuk keluarga Bapak di rumah.”
Orang
tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan. Isinya lembaran-lembaran uang. Cukup
banyak jumlahnya.
“Pak
Badrun, saya mohon terimalah pemberianku ini.”
4. Tokoh dan
Penokohan
Ø Badrun merupakan tokoh yang sangat
dermawan dan ringan tangan membantu terhadap sesamanya
Badrun mengamati pengemis itu.
Tiba-tiba ia terjatuh di dekat trotoar kaki lima. Hampir saja ia terjerebab
dalam blumbangan kotor. Badrun segera berlari memberikan pertolongan.
Ø Pengemis I merupakan tokoh yang
tidak bersyukur atas apa yang ia dapatkan
“Huh! Emang gue ini siape? Masa Cuma
dikasih cepe. Keterlaluan. Buat beli rokok sebatang pun ta dapat,”
Ø Pengemis II merupakan tokoh yang
menerima apa adanya
“Mungkin dia tidak punya uang kecil
selain cepean itu. Masih untung orang itu mau memberi.”
Ø Ibnu Sabil merupakan tokoh yang
sangat baik dengan memberi imbalan atas kebaikan Badrun dan terus terang atas
keadaan
Orang tua itu mengeluarkan sebuah
bungkusan. Isinya lembaran-lembaran uang. Cukup banyak jumlahnya.
5. Latar
Tempat yang menjadi latar cerita pendek ini adalah suasana
di pasar dan trotoar kaki lima.
Tiba-tiba ia terjatuh di dekat
trotoar kaki lima. Hampir saja ia terjerebab dalam blumbangan kotor. Badrun segera
berlari memberikan pertolongan.
6. Sudut
Pandang
Sudut pandang
yang digunakan oleh pengarang dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang
ketiga yaitu nama ”Badrun”. Hal ini dikarenakan pengarang berperan sebagai
pelaku yang serba tidak tahu. Pengarang tidak terlibat erat dengan
peristiwa-peristiwa dan situasi yang muncul dalam cerita.
Badrun memberi uang kepada pengemis.
Dengan rasa suka cita, pengemis segera berlalu hingga hilang ke tengah
keramaian pasar.
7. Suasana
Suasana yang terdapat dalam cerpen tersebut adalah suasana
menjelang Idul Fitri dengan penuh harap-harap cemas karena Badrun belum
mendapat orderan jahitan yang biayanya untuk anak-anaknya dirumah, dan cahaya
matahari yang sangat panas
Saat itu matahari sudah berada di
atas ubun-ubun langit. Udara kota menyengat pori-pori bumi.
Binatang melata menggelepar-gelepar
kepanasan di atas aspal. Peluh dan keringat jatuh bercucuran.
8. Gaya
Bahasa
Gaya bahasa
yang dapat dijumpai pada cerpen ini yaitu penggunaan majas perbandingan yairu
majas hiperbola, dan personifikasi. Majas Hiperbola yaitu gaya bahasa yang
maknanya bersifat melebih-lebihkan sesuatu.
Contoh kalimat
cerpennya : Udara semakin meranggas dan kota
ini, orang sepertiku dianggap seperti kuman
penyakit menular
Majas
Personifikasi yaitu gaya bahasa yang maknanya itu mengumpamakan benda mati itu
seolah-olah hidup. Contoh kalimat cerpennya : Saat itu matahari sudah berada
di atas ubun-ubun langit.
Unsur Ekstrinsik
1. Latar
belakang pendidikan sastrawan
Lulus
dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni program Studi Bahasa Arab IKIP (UNJ)
Jakarta, tahun 1991, Magister Agama Islam Fakultas Pasca Sarjana Universitas Islam
Jakarta
Sumber:
Ike Mega, Rabu 12 Mei 2010 , analisis prosa puisi dan drama http://ikemegha.blogspot.co.id/2010/12/analisis-prosa-puisi-dan-drama.html
oleh
Ike Mega 12 Mei 2010
Komentar
Posting Komentar